Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Jumat, 15 Januari 2010

RITUAL DAN INSTITUSI ISLAM

Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian, yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.

A. RITUAL DALAM PERSPERTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat men¬tal. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisi¬kan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keber¬kahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedang¬kan perilaku profan dilakukan secara bebas. (Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mende¬katkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan?
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara per¬orangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kece¬masan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kece¬masan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut.
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatanpertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis -mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta¬tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mem¬pengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertu¬juan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.

Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.



B. RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam A1¬Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Mu¬hammad Saw (rnuludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji atau meninggal dunia.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunah. Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dan Ibnu Hibban yang rnenyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursiy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu, membaca ayat kursiy setelah salat wajib hanya bersifat tahsini.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridla Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelak¬sanaan i'adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemung¬kinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.

C. INSTITUISI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istiiah yang mengacu kepada pengertian institusi (Iembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1).
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987:177) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk men¬jelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial, seperti dituturkan oleh koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan social. Ia merupakan padanan dari istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social insti¬tution.
Pengertian-pengertian social instiuction yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut:
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah dicipta¬kan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.

Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manu¬sia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.

Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masvarakat.

Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: per¬tama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan aturan yang mengatur warga kelompok di masya¬rakat. Di samping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masya¬rakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendi¬dikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahir¬kan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara ber¬ulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperi¬laku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupa¬kan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-2)

D. FUNGSI DAN UNSUR- UNSUR INSTITUSI
Secara umum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem ter¬tentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi, ia bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. Ia adalah kelompok-kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi kemasya¬rakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma ter¬tentu yang dipergunakan oleh suatu associaton. Ia dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

E. INSTITUSI ISLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan pedo¬man bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka mem¬peroleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang menger¬jakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese¬orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi. Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman vang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pi¬dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in¬stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa¬kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan narma oleh masyarakat Muslim meru¬pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga me¬reka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti insti¬tusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi¬kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masvarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Umat Islam (PUI). Demikianlah pembahasan kita mengenai institusi dan institusi Islam yang secara sepintas telah membedakan antara institusi dengan organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar