Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Kamis, 14 Januari 2010

Proposal Skripsi S.M.N Al-Attas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membentuk manusia menjadi masyarakat modern. Hal ini didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditaklukan oleh kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berproses pada rasionalitas. Jagad raya beserta isinya yang oleh doktrin-doktrin agama memiliki keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta, kini hanya dianggap sebagai benda otonom yang tak ada keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta.

Dunia materi dan non-materi difahami secara terpisah, sehingga dengan demikian masyarakat modern merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi memerlukan intervensi Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia ini. Karena dengan kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi segala hal dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan dari Tuhan. Dengan demikian manusia modern semakin yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai orbit dunia dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mengumandangkan nilai-nilai rasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (Budaya primitif).[1]

Memang diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi kelangsungan kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan krisis global yang sangat serius. Kalau krisis ini didaftar secara detail, maka akan ditemukan daftar krisis yang amat panjang. Misalnya krisis lingkungan mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Disamping itu, yang tak kalah serius adalah terjadinya dekadensi moral di berbagai belahan dunia benar-benar telah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Kejujuran, keadilan, kebenaran, tolong-menolong dan kasih sayang sudah tereliminasi oleh tindak penipuan, penyelewengan, penindasan dan saling merugikan.[2] Terjadinya krisis yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat menurut Gregory Bateson tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat.[3]

Akibat epitemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan ‘segala sesuatu’, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Di kalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut yang diformulasikan berdasarkan Alquran dan Assunnah sebagai wahyu Tuhan. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respons kreatif terhadap tantangan-tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat.[4]

Sejalan dengan itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan kekeliruan epistemologi Barat, karena Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, Barat juga telah menjadikan skeptisisme ke tingkat tinggi sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional.

Bertolak dari krisis yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan Barat di atas, sebagian kalangan intelektual Muslim merasa kuatir apabila ilmu pengetahuan Barat tersebut diterapkan di dunia Muslim apa adanya (taken for granted). Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya krisis di dunia Muslim, maka ilmu pengetahuan kontemporer sebelum diterapkan harus diislamkan terlebih dahulu.

Islamisasi ilmu merupakan usaha mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistik, sekularistik, evolusioneristik, dan karena pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam.[5]

Perlunya menampilkan pemikiran teologis yang berlandaskan Alquran adalah untuk menghilangkan kesan yang selama ini muncul bahwa pendidikan Islam itu adalah tidak lebih dari pendidikan Barat yang ‘terislamkan.’ Paradigma filosofis yang digunakan tidak sepenuhnya berlandaskan paradigma Qur’ani, tetapi menjiplak paradigma Barat yang memang mendominasi pemikiran Islam.

Akibatnya, seperti yang disinyalir oleh Abdul Munir Mulkhan, dunia pemikiran Islam, termasuk pendidikan Islam, masih dihinggapi semacam ‘kekeliruan semantik’ atau bahkan ‘kepalsuan semantik’. Diterimanya prinsip dikotomi adalah diantara indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam. Dikotomi ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan Islam dengan segala variasi dan implikasinya dalam membentuk wawasan intelektual dan keagamaan umat dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaannya.[6]

Untuk keluar dari situasi itu, maka rekonseptualisasi pendidikan Islam yang lebih bermakna sungguh sangat diperlukan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menawarkan sebuah problem solving dengan mengedepankan konsep tauhid yang menjadi oase dalam gersangnya pendidikan Islam dewasa ini. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka sangat menarik untuk mendalami jalan pikiran al-Attas ini, melalui pemahaman ajaran-ajarannya tentang pedagogik Islam.

Syed Muhamamd Naquib al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya yang telah diindonesiakan, seperti Islam dan sekularisme, terbitan Pustaka Bandung, yang sangat populer pada tahun 80-an, Islam dan Filsafat Sains terbitan Mizan, atau Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenalnnya. Namun, sisi penting sosok al-Attas sebagai pemikir Muslim terkemuka dan pembaharu pemikiran Islam tidak dapat ditangkap hanya dari karya-karya yang telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaharu di Dunia Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi[7] dan disalahfahami atau dipolitisasi banyak orang. Gagasannya bukan tanpa konsep, melainkan justru merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian dikumpulkan dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysich of Islam. Bahkan, yang lebih menarik lagi, karena kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya diimplementasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional.[8] Inilah substansi dari skripsi yang penulis tuangkan ini, yakni mengungkap pemikiran-pemikiran cemerlang al-Attas tentang pendidikan Islam dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

Selain pemikiran al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, skripsi ini juga akan membahas kerangka berpikir al-Attas tentang pedagogik yang lain misalnya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, dan Ide dan Realitas Universalitas Islam.

Studi ini berangkat dari konsep utama ‘pedagogik”. Pedagogic secara lughawi berarti ilmu yan berusaha menyelidiki tentang perbuatan mendidik.[9] Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah.[10]

Meskipun istilah paedogogos (sekarang pedagogic) pada mulanya digunakan untuk konotasi rendah (pelayan, bujang) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat. Paedagoog (sekarang pedagog) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa Arab disebut Mu’allim, Mudarris atau Murabbi.

Menurut al-Khukli, kata pedagogic (Inggris) diberi padanannya dalam bahasa Arab dengan kata tarbawy atau ta’limi. Al-Khukli mengartikan pedagogic sebagai “ilmu usul al-Tadris, Fannu al-Tadris.” Artinya ilmu tentang dasar-dasar mendidik atau ilmu tentang kiat mendidik.[11]

Secara lughawi memang tidak dibedakan antara pedagogy dan pedagogic, akan tetapi dalam konteks kependidikan, kedua istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecendrungan makna praktek dan cara mengajar (applied); sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu mendidik. Soerganda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:

1. Praktek, cara mengajar
2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; prinsip-prinsip, metode-metode membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan.[12]

Di negeri Belanda orang membuat perbedaan. Ilmu pengetahuan mengenai pendidikan seperti yag dimaksud dalam poin b adalah pedagogic. Sedangkan pelaksanaan pendidikan tersebut disebut pedagogi.[13] Dalam studi ini, kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Pedagogic digunakan dalam konteks teoritik. Sedangkan pedagogi digunakan dalam konteks aplikatif. Menurut H.M Said di negeri Belanda tidak dikenal istilah filsafat pendidikan. Yang ada ialah ‘pedagogik seek’ dan ’opvoedkunde’, juga di Jerman tidak di kenal istilah filsafat pendidikan yang ada hanya istilah ‘pedagogik’ dan ’erzie lungswisenchaft’. Judul-judul pendidikan Jerman juga menggunakan istilah ‘pedagogiek’ dan ‘erzie lungswissenchaft.’[14]

Pedagogi dalam literatur Islam ekwifalen dengan al-Tarbiyah atau al-Ta’lim. Ibnu Khaldun– sebagaimana kebanyakan para ahli sebelum dan semasa dengannya- menggunakan istilah al-Ta’lim yang diterjemahkan oleh Frans Rosenthal ke dalam bahasa Inggris instruction.[15] Syed Muhammad Naquib Al-Attas –dengan mengemukakan alasan-asalan leksikal- menggunakan istilah al-Ta’dib. Al-Attas mengatakan, mereka yang menggunakan istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah besar, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Padahal pendidikan menurut Islam ialah sesuatu yang khsusus hanya untuk manusia. Tarbiyah mencakup juga untuk binatang. Lagi pula tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada pemilikan, seperti pemilikan orang tuanya, dan biasanya para orang tua pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah.[16]

Dalam bahasa Inggris istilah education diartikan dengan pedagogi. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang tepat adalah pendidikan. Abd. Al-Qadir mendefinisikan pedagogi dalam arti umum ialah, ’semua aktivitas yang berasal dari manusia dengan tujuan mengembangkan kapasitas dan abilitas yang berkenaan dengan fisik, akal budi dan rasa’.[17] Noeng Muhadjir merumuskan sebagai upaya terprogram dari pendidik-pendidik pribadi membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara/jalan yang normatif pula.[18] Demikian pula yang penulis maksudkan dalam skripsi ini, yakni semua usaha yang dilakukan dalam proses pendidikan, mencakup prinsip dan metode mengajar, metode membimbing dan seluk-beluk pengajaran Islam.

Di dalam perkembangan pedagogik yang pesat menuju sebuah ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Dr. H. Muh. Said mengutip pernyataan Herman Rohrs dalam algemeine Erziehungswissenschsftlicen Aufgaben Und Methoden, bahwa yang mula-mula sekali memakai istilah ilmu pendidikan ialah J.C. Greling yang menulis dalam bukunya, ”tentang tujuan akhir dari pendidikan dan tentang dalil dasar pertama dari ilmu pengetahunnya”. Bahwa; ”ilmu pendidikan berbeda dari seni mendidik sebagai umumnya teori dan praktek.”[19]

Untuk melihat apakah kontribusi pemikiran pedagogik Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat dipandang sebagai teori yang acceptable dan applicable dalam pedagogi Islami dan kontemporer, maka dalam mengulasnya digunakan pendekatan filosofik, yaitu suatu sudut tinjau –sesuai dengan objek formalnya- yang menempatkan objek secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka metode yang ditempuh dalam hal ini, adalah deskriptif, komparatif dan analisis-sintesis. Dari uraian ini kemudian penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul, “KONSTELASI PEMIKIRAN PEDAGOGIK SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MODERN.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian singkat di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
2. Konstelasi pemikiran pedagogik apa saja yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas? Dan apa sajakah yang dilakukan Al-Attas untuk merealisasikan ide-ide pedagogiknya?
3. Adakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi Al-Attas dalam mewujudkan ide-ide pedagogiknya dan cara mengatasinya?
4. Bagaimana pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan yang diusung Al-Attas dalam rangka mengatasi dualisme ilmu dewasa ini yang melanda negeri-negeri Muslim dan Barat?
5. Secara umum, bagaimana pengaruh dan relevansi pemikiran pedagogik Al-Attas terhadap pendidikan Islam modern?

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diteliti lebih terarah dan tidak keluar dari jalur pembahasan, karena sepengetahuan penulis, pemikiran-pemikiran Al-Attas itu cukup beragam terutama dalam bidang tasawuf, hal itu bisa dilihat dari banyak karya-karyanya diantaranya The Mysticism of Hamzah Fansuri, Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Aceh, dan A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry. Selain itu, beliau juga terkenal ahli dalam bidang teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Oleh karena itu, penulis memberi batasan masalahnya sebagai berikut:

1. Mengenal sosok Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.
2. Menguraikan pemikiran pedagogik Al-Attas diantaranya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, Ide dan Realitas Universalitas Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahaun.
3. Menelaah epistemologi pemikiran pedagogik Al-Attas dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan utama yang tersimpul dalam rumusan masalah. Lebih rinci tujuan itu dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib al-Attas.
2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pemikiran pedagogik apa saja yang diwacanakan al-Attas dan relevansinya untuk pendidikan Islam modern.
3. Membangun kembali jembatan yang telah hancur dalam tradisi intelektual –dengan merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya untuk mengantisipasi timbulnya kesimpangsiuran— dan dengan demikian, bisa mengangkat kembali pemikiran konseptual yang autentik dan jelas dalam berbagai persoalan penting umat Islam, seperti masalah pendidikan Islam.
4. Sebagai wacana untuk membawa pemikiran al-Attas ke permukaan, khususnya islamisasi ilmu pengetahuan, dan mengeliminasi sikap dualistik yang keliru dan destruktif, yang sekarang sedang tren di kalangan politikus, birokrat, teknokrat, bahkan akademisi dan mahasiswa Muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah:

1. Memberikan gambaran yang lebih utuh dan imbang tentang kontroversi pendapat sarjana kontemporer mengenai tesis-tesis Al-Attas.
2. Melalui gambaran yang utuh dan imbang itu, maka dengan aman kita dapat mengatakan bahwa Al-Attas telah menghadirkan sebuah paradigma dalam kajian ilmu dan pendidikan yang layak untuk diterapkan kaum Muslim di dunia.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai kajian literatur, metode yang dipakai dalam penelitian ini lebih bersifat eklektis, berbaur antara kualitatif dengan analisa isi. Metode semacam ini diajukan dengan pertimbangan bahwa kajian pendidikan Islam, apalagi yang sedikit banyaknya bermuatan pemikiran filosois, tidak hanya ditembus dengan satu metode saja. Bila satu metode saja, sudah pasti akan memiskinkan bobot analisisnya. Sejarah dan pemikiran manusia begitu kompleks, berdimensi banyak. Setiap dimensi punya daya tarik tersendiri, jika orang pandai melihatnya melalui kacamata yang serius dan kritis.

Begitu juga dalam penelitian skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat kontemporer dengan sudut pandang filsafat pendidikan. Data yang dipakai bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pemikiran Al-Attas dan pendidikan. Rujukan utama (primer) adalah karya-karya yang ditulis Al-Attas. Sementara rujukan sekunder adalah karya-karya intelektual mengenai pemikiran Al-Attas. Untuk karya-karya lain yang terkait dijadikan sebagai data pendukung.

Adapun metode yang digunakan adalah metode Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Disamping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990). Metode ini dipakai untuk mengevaluasi secara kritis pemikiran Al-Attas; kekuatan dan kelemahan.

Data-data yang telah terkumpul, kemudian penulis ramu untuk memberikan hasil yang seobjektif mungkin dan mencoba memberikan sesuai dengan tendensi teks. Selanjutnya menuangkannya baik dalam bentuk kutipan murni atau langsung maupun dalam bentuk kalimat yang penulis bahasakan sendiri, tanpa mengurangi esensi dari pendapat-pendapat atau teks yang dikutip.

1. F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I : Merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi masalah dan perumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.

Bab III : Konstelasi pemikiran pedagogik Al-Attas yang terdiri dari konsep pendidikan Islam, kurikulum dan metode pendidikan, makna dan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengetahui, ide dan realitas universalitas Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Serta telaah kritis epistemologi pemikiran Al-Attas perspektif pendidikan Islam modern.

Bab V : Penutup. Merupakan akhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat kesimpulan dan saran.
[1] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet ke-1 h 98

[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet ke-1 h 95

[3] Ziaudin Sardar, Masa Depan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Salman, 1987), Cet ke-1 h 88

[4] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h 103

[5] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Misi Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal Studi-studi Islam, Dzulhijjah Awwal 1412/Juli-Oktober 1991, h 96

[6] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet ke-1, h 2

[7] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada 1986. Sebagai seorang ilmuan, ia banyak sekali melahirkan karya ilmiah yang bermutu. Ia menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisannya, pemikiran al-Faruqi mampu tersebar ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Diantara buku-bukunya yang penting adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religious of the World, Trialogue of Abrahamic Faith, The Cultural atlas of Islam, Islamization For Thought And Life, dan Islam And Culture. Harun Nasution (ed.), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Jembatan, 1992), h. 242-243

[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h 15

[9] Dapat dibedakan antara pedagogic. Pedagogic cenderung bersifat keilmuan teoritik aktifitas mendidik, sedangkan pedagogi berarti aktifitas mendidik itu sendiri.

[10] www.rezaervani.com – http://groups.yahoo.com/group/rezaervani, ditulis oleh Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd dan diakses pada 11 November 2009.

[11] Muhammad Ali al-Khukli, Qamus al-Tarbiyah, (Libanon: Dar al’Ilm li al Malayin, 1981), h 345

[12] Soegarda Peorbakawadja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h 212

[13] ibid

[14] H.M Said dalam IAIN Jakarta, Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN, 1983) h. 82

[15] Penerjemahan al-Ta’lim dengan instruction, bukan hanya melemahkan ruh pendidikan yang berwawasan Islam, tetapi juga menafikan sifat normatif dari pendidikan itu sendiri. Instruction cenderung mempunyai makna pengisian otak atau intelek dan performance dan objektif di samping penempatan intelek dan skill.

[16] Disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (alih bahasa Haidar Baqir), (Bandung: Mizan, 1987), h 65-67

[17] Hamid Abd. Al-Qadir, Manhaj al-Hadits fi Usul al-Tarbiyah wa Turuk al-Tadris, (Mesir: Matba’ah al-Nahdah, 1957)

[18] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin Press, 1987), Edisi IV, Cet 1, h 10

[19] Prof. Dr. H. Muh. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar