Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Jumat, 15 Januari 2010

Blog Entry DILEMA: SASTRA DAN ISLAM SEBAGAI JATI DIRI ACEH

Sejarah Islam Aceh

Dalam catatan sejarah panjang bangsa Indonesia, ahli sejarah telah mencatat bahwa Aceh merupakan daerah kaya dengan karya sastra dan daerah yang pertama masuknya agama Islam di nusantara. Bahkan daerah ini adalah gudangnya karya sastra Melayu Klasik. Kejayaan Kerajaan Aceh mulai dari Kerajaan Islam Perlak—kerajaan Islam pertama yang berdiri di kepulauan nusantara tidak bisa lepas dari pengaruh para sastrawan. Sebagai contoh pada masa Sultan Alaidin Riayat Syah Saiyidil Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589-1904 M) ada pujangga besar Syekh Hamzah Fansuri yang menjadi pendamping Sultan. Bahkan Hamzah Fansuri adalah pelopor penyair Melayu Klasik terbesar sepanjang masa. Setelah itu ada nama-nama sastrawan yang tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah Aceh diantaranya; Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniry, Abdurrauf Syiahkuala (mufti kerajaan pada zaman keemasan kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda), Muhammad Pantekulu (pengarang heroik; Hikayat Perang Sabil), Syekh Daud Rumy, Ismail bin Abdullah, dan lain-lainnya. Perlu dicatat bahwa pandangan-pandangan mereka selalu menjadi patokan para Sultan dalam menentukan berbagai kebijakan-kebijakan kerajaan.

Maka sejak saat itu, karya sastra Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan Aceh. Salah satu pengaruhnya adalah lahirnya genre utama sastra Melayu klasik pada abad ke-14 dan 17 dalam bentuk sastra sufi. Hal ini disebabkan oleh bentuk sufi sesuai dengan pola kebudayaan masyarakat Aceh dalam upaya penyebaran agama Islam di kalangan mereka. Hingga akhirnya Islam berhasil masuk ke dalam semua tingkat strata masyarakat.

Sastra sufi di ranah Aceh mempunyai sejarah yang panjang dan penuh warna-warni dalam perjalanan waktu hingga sampai saat ini. Sufistik telah menyatu dengan kesusastraan pun begitu sebaliknya kesusastraan telah menjadi salah satu media untuk menyampaikan ide-ide serta pandangan-pandangan Sufi. Sehingga dengan demikian akan lahir suatu metode yang menggabungkan upaya-upaya penggabungan penelitian ilmu agama dan ilmu sastra.



Islam Sebagai Jati Diri

Kesusastraan Islam dan kebudayaan Aceh merupakan suatu keperibadian, atau karakter orang Aceh. Kebudayaan Aceh tidak dapat dipisahkan dengan Islam sehingga muncul pepatah Tidak Aceh seseorang itu kalau tidak beragama Islam begitu kentalnya Islam dengan kebudayaan Aceh. Kebudayaan Islam ditungkus dengan manis melalui kesusastraan Aceh sehingga akan mudah dipahami oleh orang Aceh. Oleh karena itu hendaknya sastra menjadi media untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam. Kenyataan ini dapat dilihat pada kebudayaan masyarakat Aceh, sastra Islam tidak pernah lepas dalam kehidupan keseharian mereka. Menidurkan anak dengan alunan syair dan puisi bernafaskan Islam dirangkai dengan kata-kata yang indah merupakan kebiasaan yang dilakukan ibu-ibu. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat menggunakan pantun Islam sebagai bahasa yang halus dan santun. Bahkan permainan rakyat dibuka dengan syair-syair Islam terlebih dahulu. Syair dan kehidupan telah menyatu dalam menjaga alam. Turun ke sawah, membuka kebun, menepati tempat tinggal yang baru, dan berbagai aspek lainnya yang berhubungan tata kehidupan masyarakat Aceh diiringi dengan peusejuek yang berupa doa-doa serta melantunkan syair-syair Islami yang indah. Hal ini akan mampu berfungsi membangun ingatan kolektif kita mengenai hal tertentu secara terus-menerus agar dapat membangun kolektifitas untuk merefleksikan kesadaran kita. Ingatan merupakan konteks yang bermakna terhadap berbagai persoalan yang berlangsung agar kita dapat memaknai berbagai persoalan yang ditawarkan.

Dilema kekinian

Pasca bencana gempa dan gelombang raya, telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Pengaruh budaya luar serta kemajuan zaman telah memporak porandakan sastra dari masyarakat Aceh. Para pemuda tidak lagi suka dengan syair, hikayat, dan pantun yang nota bene berisikan ajaran Islam. Mereka lebih suka lagu-lagu dan budaya dari negara barat yang bertentangan dengan budaya kita. Pesta perkawinan di hotel atau gedung pertemuan tidak ada lagi puisi sebagai tabir pembuka. Pantun sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian masyarakat Aceh telah mencampakkan sastra dari kehidupannya. Padahal sastra itu merupakan identitas dan jati diri masyarakat Aceh. Akibatnya mereka telah kehilangan jati diri karena dalam sastra tradisional itulah terkandung jati diri mereka.

Tidak dapat kita bayangkan kehidupan ini kalau kita telah kehilangan marwah dan jati diri. Hidup ini tentu tidak akan mempunyai pedoman lagi. Kita tidak akan dihargai orang. Kita selamanya akan “terjajah” oleh budaya asing. Kalau demikian siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini? Tentulah yang merasa diri sebagai orang Aceh. Kita tidak dapat menyalahkan orang lain.

Saya rasa tidaklah berlebihan kalau kita memberikan tahniah yang tinggi kepada sastrawan. Mereka telah memulung sastra yang dicampakkan masyarakat itu untuk “dimodifikasi” kembali menjadi santapan rohani yang apik. Dari hasil modifikasi itu sastrawan kembali memberikannya kapada masyarakat agar mereka kembali menyadari arti penting jati diri. Dengan demikian masyarakat Aceh akan mengetahui identitasnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menimbulkan rasa percaya diri yang kuat untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Memang Islam telah menjadi identitas orang Aceh seperti yang telah diungkapkan di atas, sehingga muncul sebutan nama untuk negeri ini “Serambi Mekkah” yang membuat kita bisa berbangga hati. Yang lebih hebat lagi negeri ini pun berlandaskan Syariat Islam. Akan tetapi apakah semua itu akan membuat kita terus terlena? Kita harus membuka mata lebar-lebar sekarang, apa yang telah terjadi? Benarkah kita masih Islami? Kalau mau jujur ternyata fakta di lapangan berkata lain, mau tidak mau harus kita sadari, tidak sedikit orang Aceh yang berperilaku tidak Islami. Jangankan Islami, keacehan pun tidak. Ini lantaran orang Aceh tidak kental lagi dengan budayanya. Misalnya banyaknya pejabat dan wakil rakyat yang tersandung kasus KKN. Pergaulan muda-mudi yang terlalu bebas. Kita semua tentu sependapat kasus ini bukanlah budaya orang Aceh.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, ajaran Islam mestilah harus ditegakkan dan disampaikan kepada masyarakat pendukungnya dalam hal ini tentulah orang Aceh itu sendiri dengan melalui kebudayaannya, khususnya sastra Aceh sebagai salah satu media. Mungkin alasan ini bukanlah salah satu faktor penyebab ajaran Islam tidak lagi seperti masa silam (kejayaan kerajaan Aceh) yang menyatu dengan masyarakat Aceh. Namun saya rasa tulisan ini dapat dijadikan suatu alternatif langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah :”dilema jati diri” masyarakat Aceh. Sehingga kita bisa kembali menemukan identitas kita dengan mengacehkan dan mengislamkan kembali masyarakat Aceh yang kian hari kian jauh meninggalkan budayanya. Kita berharap suatu saat Aceh benar-benar kembali kepada kejayaan Islam masa lalu yang pernah berjaya di negeri ini. Namun, adakah ketulusan dan nurani yang benar-benar peduli.?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar