Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Aunur Rofik El-Shirazy & My Friends

Selasa, 19 Januari 2010

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi mud

Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu. Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi muda, yang bahkan kadang-kadang perubahan itu sangat kompleks. Kehidupan keluarga, termasuk anak-anak sekarang memberikan banyak kebebasan dan banyak dipengaruhi oleh faktor dari luar. "Dunia menjadi semakin kosmopolitan dan kita semua mempengaruhi satu sama lain." Demikian ujar desainer Paloma Picasso, seperti dikutip oleh John Naisbitt (1990:106)

Di lain pihak dengan kemajuan di bidang komunikasi (termasuk telekomunikasi tentunya), melalui film, TV, radio, surat kabar, telepon, computer, internet, d1l. anak-anak sekarang sudah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Dalam tulisan berikutnya, John Naisbitt menggambarkan: Dahulu biaya untak memulai sebuah surat kabar sama dengan biaya untuk memulai sebuah pabrik baja. Akan tetapi, dengan desktop publishing sekarang ini, sebuah surat kabar dapat dimulai dalam semalam dengan sedikit sekali biaya. Daily Planet Telluride sepenuhnya didigitalkan, termasuk pemakaian kamera digital yang citranya diumpankan langsung ke dalam komputer. (John Naisbitt, 1994:28-29).

Jadi sekarang ini kehidupan kita senantiasa dibayangi oleh perkembangan IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa, yang menyebabkan terjadinya "ledakan informasi". Pertumbuhan pengetahuan pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam tempo kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi "kadaluwarsa" hanya dalam tempo kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo).

Dari gambaran di atas kiranya jelas bahwa dunia yang dihadapi peserta didik termasuk mahasiswa pada saat ini, sangat kompleks.Wajarlah jika secara periodik kurikulum senantiasa harus selalu ditinjau kembali, dan senantiasa ada pembaharuan di bidang kurikulum.

TANTANGAN MASA DEPAN

Masa depan kita ditandai oleh banjir informasi dan perubahan yang amat cepat dikarenakan masyarakat dunia terekspos oleh revolusi di bidang ilmu, teknologi dan seni, serta arus globahsasi, sehingga menuntut kesiapan kita semua untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada atau. akan terjadi. Artinya kita harus mampu menghadapi masyarakat yang sangat kompleks dan global.

Adapun sejumlah masalah yang dihadapi saat ini dan tantangan masa depan dapat berupa:
Faktor-faktor Eksternal seperti: globalisasi, perkembangan ekonomi nasional, desentralisasi, politik, sosial budaya dan teknologi.

Faktor-faktor Internal seperti: dampak manajemen yang sentralistik, mekanisme pendanaan oleh pemerintah, manajemen dan organisasi, sumberdaya manusia, penelitian di perguruan tinggi, serta peran serta orang tua dalam pendanaan pendidikan

PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI

Pembaharuan pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah henti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran'.

Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah "pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur". Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.

Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu.

PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum dapat. dimaknai sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kuahtas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kuahtas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut aspek lain dari makna kurikulum adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar di sini dimaksudkan adalah pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik seperti yang direncanakan dalam dokumen tertuhs. Pengalaman belajar peserta didik tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/instruktur/pendidik. Dokumen tertulis yang dikembangkan dosen ini dinamakan Rencana Perkuliahan/Satuan Pembelajaran. Pengalaman belajar ini memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh peserta didik tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.

Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi yaitu pengembangan ide dasar untuk kurikulum, pengembangan program, rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, pengalaman belajar, penilaian dan hasil. Keenam dimensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu Perencanaan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan Evaluasi Kurikulum. Perencanaan Kurikulum berkenaan dengan pengernbangan Pokok Pikiran/Ide kurikulum dimana wewenang menentukan ada pada pengambil kebijakan urtuk suatu lembaga pendidikan. Sedangkan Implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas) dimana yang menjadi pengembang dan penentu adaIah dosen/tenaga kependidikan. Evaluasi KurikuIum merupakan kategori ketiga dimana kurikulum dinilai apakah kurikulum memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik berkenaan dengan salah satu dimensi ataukah keseluruhannya. Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya.

A. KURIKULTUM BERBASIS KOMPETENSI UNIUK PENDIDIKAN TINGGI

1. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232

Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum. berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9 berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai berikut:

Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232 tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.

2. Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No.045/U/2002

Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu".

Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-elemen kompetensi.

Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas nomor 045:

Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat:

1. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
2. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
3. berlaku secara. nasional dan internasional
4. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, clan
5. kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan

Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.

3. Implementasi Kurikulum

Dalam rangka implementasi KBK di perguruan Tinggi, maka hendaknya kita memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi. Dengan demikian maka setiap mata kuliah harus menjabarkan, kompetensi yang dikembangkan mata kuliah tersebut sehingga setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap mata kuliah terhadap kelima, kategori kompetensi.

4. Penilaian

Dengan kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
a. Penilaian hasil belajar
b. Penilaian proses belajar mengajar
c. Penilaian kompetensi mengajar dosen
d. Penilaian relevansi kurikulum
e. Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas
f. Penilaian program (akreditasi)

Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah:

1. Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi.
2. Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran
3. Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka
4. Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar.

Perubahan yang mendasar juga terjadi pada kriteria lulus dan tidak lulus (menguasai kompetensi atau tidak). Dalam konteks ini tidak setiap kompetensi memiliki rentangan 0 - 4 atau E, D, C. B, dan A, melainkan pendekatan penilaian yang bersifat mastery (Mastery-based Evaluation) untuk menggantikan pendekatan skala yang digunakan pada saat ini.

5. Komponen Yang Terlibat Serta Peranannya

Untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KBK ini dengan baik sejumlah komponen perlu terlibat secara inten dan memberikan perannya masingmasing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain:

1. Visi dan Misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar.
2. Partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, naahasiswa) dalam bentuk "shared vision" dan "mutual commitment" untuk optimasi kegiatan pembelajaran.
3. Iklim dan kultur akademik yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan.
4. Keterlibatan kelompok masyarakat pemrakarsa (stakeholders) serta. Masyarakat pengguna lulusan itu sendiri.

B. KBK pada Jenjang Sekolah

1. Menyongsong Kurikulum 2004

Dengan akan segera. dilluncurkannya (launching) Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan bahkan untuk pendidikan tinggi yang sudah diluncurkan sejak tahun 2000, tentu banyak menimbulkan masalah baru, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pelaksanaan pembelajaran di masing-masing mata kuhah/pelajaran. Para guru, sebagai ujung tombak dari kegiatan pendidikan, perlu memahami secara mendalami tentang konsep dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi, dalam arti: apa makna hakiki dari KBK, kemana trend KBK harus dibawa/dikembangkan, apa saja komponen yang harus ada, dan bagaimana mengembangkannya, dsb. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan era otonomi daerah di mana kewenangan-kewenangan pusat semakin dikurangi, sementara kewenangan daerah menjadi semakin besar dan luas. Sudah barang tentu era otonomi daerah ini juga membawa dampak yang cukup luas, termasuk tentunya untuk bidang pendidikan.

Di era otonomi seperti sekarang ini kurikulum pendidikan yang belaku secara, nasional bukanlah suatu "harga mati" yang harus diterima dan dilaksanakan apa adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara, nasional. Dalam hal ini guru adalah pengembang kurikulum yang berada, dalam kedudukan yang menentukan dan strategis. Jika kurikulum diibaratkan sebagai rambu-rambu lalu lintas, maka guru adalah pejalan kakinya.

Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam. kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia, maka guru berwenang untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum kedalam, silabus pengembangan kurikulum kedalam. silabus ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal, di antaranya: isi (konten), konsep, kecakapan/keterampilan, masalah, serta minat siswa/mahasiswa.

Sosok Kurikulum 2004 untuk Jenjang Sekolah

Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok.

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebut maka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional matapelajaran adalah seperti tampak pada

Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar.

Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian. I

Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
2. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
3. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
4. Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdfferensiasi
5. Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
6. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).(Aal, Mb).

Sabtu, 16 Januari 2010

RITUAL DAN INSTITUSI ISLAM

Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian, yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.

A. RITUAL DALAM PERSPERTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat men¬tal. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisi¬kan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keber¬kahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedang¬kan perilaku profan dilakukan secara bebas. (Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mende¬katkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan?
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara per¬orangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kece¬masan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kece¬masan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut.
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatanpertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis -mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta¬tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mem¬pengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertu¬juan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.

Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.



B. RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam A1¬Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Mu¬hammad Saw (rnuludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji atau meninggal dunia.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunah. Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dan Ibnu Hibban yang rnenyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursiy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu, membaca ayat kursiy setelah salat wajib hanya bersifat tahsini.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridla Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelak¬sanaan i'adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemung¬kinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.

C. INSTITUISI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istiiah yang mengacu kepada pengertian institusi (Iembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1).
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987:177) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk men¬jelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial, seperti dituturkan oleh koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan social. Ia merupakan padanan dari istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social insti¬tution.
Pengertian-pengertian social instiuction yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut:
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah dicipta¬kan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.

Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manu¬sia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.

Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masvarakat.

Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: per¬tama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan aturan yang mengatur warga kelompok di masya¬rakat. Di samping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masya¬rakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendi¬dikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahir¬kan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara ber¬ulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperi¬laku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupa¬kan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-2)

D. FUNGSI DAN UNSUR- UNSUR INSTITUSI
Secara umum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem ter¬tentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi, ia bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. Ia adalah kelompok-kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi kemasya¬rakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma ter¬tentu yang dipergunakan oleh suatu associaton. Ia dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

E. INSTITUSI ISLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan pedo¬man bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka mem¬peroleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang menger¬jakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese¬orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi. Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman vang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pi¬dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in¬stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa¬kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan narma oleh masyarakat Muslim meru¬pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga me¬reka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti insti¬tusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi¬kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masvarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Umat Islam (PUI). Demikianlah pembahasan kita mengenai institusi dan institusi Islam yang secara sepintas telah membedakan antara institusi dengan organisasi.

Jumat, 15 Januari 2010

Blog Entry DILEMA: SASTRA DAN ISLAM SEBAGAI JATI DIRI ACEH

Sejarah Islam Aceh

Dalam catatan sejarah panjang bangsa Indonesia, ahli sejarah telah mencatat bahwa Aceh merupakan daerah kaya dengan karya sastra dan daerah yang pertama masuknya agama Islam di nusantara. Bahkan daerah ini adalah gudangnya karya sastra Melayu Klasik. Kejayaan Kerajaan Aceh mulai dari Kerajaan Islam Perlak—kerajaan Islam pertama yang berdiri di kepulauan nusantara tidak bisa lepas dari pengaruh para sastrawan. Sebagai contoh pada masa Sultan Alaidin Riayat Syah Saiyidil Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589-1904 M) ada pujangga besar Syekh Hamzah Fansuri yang menjadi pendamping Sultan. Bahkan Hamzah Fansuri adalah pelopor penyair Melayu Klasik terbesar sepanjang masa. Setelah itu ada nama-nama sastrawan yang tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah Aceh diantaranya; Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniry, Abdurrauf Syiahkuala (mufti kerajaan pada zaman keemasan kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda), Muhammad Pantekulu (pengarang heroik; Hikayat Perang Sabil), Syekh Daud Rumy, Ismail bin Abdullah, dan lain-lainnya. Perlu dicatat bahwa pandangan-pandangan mereka selalu menjadi patokan para Sultan dalam menentukan berbagai kebijakan-kebijakan kerajaan.

Maka sejak saat itu, karya sastra Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kebudayaan Aceh. Salah satu pengaruhnya adalah lahirnya genre utama sastra Melayu klasik pada abad ke-14 dan 17 dalam bentuk sastra sufi. Hal ini disebabkan oleh bentuk sufi sesuai dengan pola kebudayaan masyarakat Aceh dalam upaya penyebaran agama Islam di kalangan mereka. Hingga akhirnya Islam berhasil masuk ke dalam semua tingkat strata masyarakat.

Sastra sufi di ranah Aceh mempunyai sejarah yang panjang dan penuh warna-warni dalam perjalanan waktu hingga sampai saat ini. Sufistik telah menyatu dengan kesusastraan pun begitu sebaliknya kesusastraan telah menjadi salah satu media untuk menyampaikan ide-ide serta pandangan-pandangan Sufi. Sehingga dengan demikian akan lahir suatu metode yang menggabungkan upaya-upaya penggabungan penelitian ilmu agama dan ilmu sastra.



Islam Sebagai Jati Diri

Kesusastraan Islam dan kebudayaan Aceh merupakan suatu keperibadian, atau karakter orang Aceh. Kebudayaan Aceh tidak dapat dipisahkan dengan Islam sehingga muncul pepatah Tidak Aceh seseorang itu kalau tidak beragama Islam begitu kentalnya Islam dengan kebudayaan Aceh. Kebudayaan Islam ditungkus dengan manis melalui kesusastraan Aceh sehingga akan mudah dipahami oleh orang Aceh. Oleh karena itu hendaknya sastra menjadi media untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam. Kenyataan ini dapat dilihat pada kebudayaan masyarakat Aceh, sastra Islam tidak pernah lepas dalam kehidupan keseharian mereka. Menidurkan anak dengan alunan syair dan puisi bernafaskan Islam dirangkai dengan kata-kata yang indah merupakan kebiasaan yang dilakukan ibu-ibu. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat menggunakan pantun Islam sebagai bahasa yang halus dan santun. Bahkan permainan rakyat dibuka dengan syair-syair Islam terlebih dahulu. Syair dan kehidupan telah menyatu dalam menjaga alam. Turun ke sawah, membuka kebun, menepati tempat tinggal yang baru, dan berbagai aspek lainnya yang berhubungan tata kehidupan masyarakat Aceh diiringi dengan peusejuek yang berupa doa-doa serta melantunkan syair-syair Islami yang indah. Hal ini akan mampu berfungsi membangun ingatan kolektif kita mengenai hal tertentu secara terus-menerus agar dapat membangun kolektifitas untuk merefleksikan kesadaran kita. Ingatan merupakan konteks yang bermakna terhadap berbagai persoalan yang berlangsung agar kita dapat memaknai berbagai persoalan yang ditawarkan.

Dilema kekinian

Pasca bencana gempa dan gelombang raya, telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Pengaruh budaya luar serta kemajuan zaman telah memporak porandakan sastra dari masyarakat Aceh. Para pemuda tidak lagi suka dengan syair, hikayat, dan pantun yang nota bene berisikan ajaran Islam. Mereka lebih suka lagu-lagu dan budaya dari negara barat yang bertentangan dengan budaya kita. Pesta perkawinan di hotel atau gedung pertemuan tidak ada lagi puisi sebagai tabir pembuka. Pantun sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian masyarakat Aceh telah mencampakkan sastra dari kehidupannya. Padahal sastra itu merupakan identitas dan jati diri masyarakat Aceh. Akibatnya mereka telah kehilangan jati diri karena dalam sastra tradisional itulah terkandung jati diri mereka.

Tidak dapat kita bayangkan kehidupan ini kalau kita telah kehilangan marwah dan jati diri. Hidup ini tentu tidak akan mempunyai pedoman lagi. Kita tidak akan dihargai orang. Kita selamanya akan “terjajah” oleh budaya asing. Kalau demikian siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini? Tentulah yang merasa diri sebagai orang Aceh. Kita tidak dapat menyalahkan orang lain.

Saya rasa tidaklah berlebihan kalau kita memberikan tahniah yang tinggi kepada sastrawan. Mereka telah memulung sastra yang dicampakkan masyarakat itu untuk “dimodifikasi” kembali menjadi santapan rohani yang apik. Dari hasil modifikasi itu sastrawan kembali memberikannya kapada masyarakat agar mereka kembali menyadari arti penting jati diri. Dengan demikian masyarakat Aceh akan mengetahui identitasnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menimbulkan rasa percaya diri yang kuat untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Memang Islam telah menjadi identitas orang Aceh seperti yang telah diungkapkan di atas, sehingga muncul sebutan nama untuk negeri ini “Serambi Mekkah” yang membuat kita bisa berbangga hati. Yang lebih hebat lagi negeri ini pun berlandaskan Syariat Islam. Akan tetapi apakah semua itu akan membuat kita terus terlena? Kita harus membuka mata lebar-lebar sekarang, apa yang telah terjadi? Benarkah kita masih Islami? Kalau mau jujur ternyata fakta di lapangan berkata lain, mau tidak mau harus kita sadari, tidak sedikit orang Aceh yang berperilaku tidak Islami. Jangankan Islami, keacehan pun tidak. Ini lantaran orang Aceh tidak kental lagi dengan budayanya. Misalnya banyaknya pejabat dan wakil rakyat yang tersandung kasus KKN. Pergaulan muda-mudi yang terlalu bebas. Kita semua tentu sependapat kasus ini bukanlah budaya orang Aceh.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, ajaran Islam mestilah harus ditegakkan dan disampaikan kepada masyarakat pendukungnya dalam hal ini tentulah orang Aceh itu sendiri dengan melalui kebudayaannya, khususnya sastra Aceh sebagai salah satu media. Mungkin alasan ini bukanlah salah satu faktor penyebab ajaran Islam tidak lagi seperti masa silam (kejayaan kerajaan Aceh) yang menyatu dengan masyarakat Aceh. Namun saya rasa tulisan ini dapat dijadikan suatu alternatif langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah :”dilema jati diri” masyarakat Aceh. Sehingga kita bisa kembali menemukan identitas kita dengan mengacehkan dan mengislamkan kembali masyarakat Aceh yang kian hari kian jauh meninggalkan budayanya. Kita berharap suatu saat Aceh benar-benar kembali kepada kejayaan Islam masa lalu yang pernah berjaya di negeri ini. Namun, adakah ketulusan dan nurani yang benar-benar peduli.?

RITUAL DAN INSTITUSI ISLAM

Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian, yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.

A. RITUAL DALAM PERSPERTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat men¬tal. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisi¬kan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keber¬kahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedang¬kan perilaku profan dilakukan secara bebas. (Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mende¬katkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan?
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara per¬orangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kece¬masan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kece¬masan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut.
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatanpertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis -mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta¬tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mem¬pengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertu¬juan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.

Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.



B. RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam A1¬Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Mu¬hammad Saw (rnuludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji atau meninggal dunia.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunah. Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dan Ibnu Hibban yang rnenyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursiy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu, membaca ayat kursiy setelah salat wajib hanya bersifat tahsini.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridla Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelak¬sanaan i'adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemung¬kinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.

C. INSTITUISI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istiiah yang mengacu kepada pengertian institusi (Iembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1).
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987:177) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk men¬jelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial, seperti dituturkan oleh koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan social. Ia merupakan padanan dari istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social insti¬tution.
Pengertian-pengertian social instiuction yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut:
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah dicipta¬kan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.

Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manu¬sia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.

Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masvarakat.

Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: per¬tama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan aturan yang mengatur warga kelompok di masya¬rakat. Di samping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masya¬rakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendi¬dikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahir¬kan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara ber¬ulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperi¬laku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupa¬kan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-2)

D. FUNGSI DAN UNSUR- UNSUR INSTITUSI
Secara umum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem ter¬tentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi, ia bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. Ia adalah kelompok-kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi kemasya¬rakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma ter¬tentu yang dipergunakan oleh suatu associaton. Ia dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

E. INSTITUSI ISLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan pedo¬man bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka mem¬peroleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang menger¬jakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese¬orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi. Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman vang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pi¬dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in¬stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa¬kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan narma oleh masyarakat Muslim meru¬pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga me¬reka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti insti¬tusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi¬kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masvarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Umat Islam (PUI). Demikianlah pembahasan kita mengenai institusi dan institusi Islam yang secara sepintas telah membedakan antara institusi dengan organisasi.

Kamis, 14 Januari 2010

Islam sebagai Produk Budaya

Dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, Jum’at, 14 November 2003.

Kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya. Tekstualitas agama lebih mengafirmasi konteks sosial dan budaya yang tengah "bergumul" pada saat itu. Islam, sebagai salah satu agama monoteis (abrahamiyah), juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa turunan dari langit. Ketika Islam hadir ke muka bumi dan menyejarah secara totalitas, tidak ada lagi baju "sakralitas" di dalamnya. Islam sangat memahami kenyataan lokalitas budaya setempat dan historisitas proses pergumulan antara teks dan realitas.

Peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Teks menjadi rujukan penting dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur'an sendiri merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk "membongkar" konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.

Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, "Arab adalah bahan baku Islam", atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam. Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.

Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal sebagai seorang rasionalis sejati.

Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, "produksi-produksi kebahasaan" (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya Negara Quraisy di Yatsrib.

Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa masuk dalam proses produksi nalar agama.

Profanitas Teks

Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat manusia.

Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis (ta'wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks. Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan.

Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), Al-Qur'an adalah "teks kebudayaan" (muntaj tsaqafy), yaitu teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks dalam Al-Qur'an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.

Dalam konsep teks, Al-Qur'an bisa didekati dengan metode-metode analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur'an karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat pergolakan pemikiran ketika Al-Qur'an itu berwujud. Dalam Islam, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban Islam.

Historisitas Islam

Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.

Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.

Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab ---yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.

Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.

Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur'an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.

Oleh sebab itu, metode "kritik historis" (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama?
Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita. Wallahu A'lam.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan REVIEW BUKU

1. Judul : KTSP (KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDI- DIKAN) DASAR PEMAHAMAN DAN PENGEMBA -NGAN; Pedoman bagi Lembaga Pengelola Lembaga Pendidikan, Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Dewan Sekolah dan Guru.
2. Penulis : Masnur Muslich
3. Penerbit : BUMI AKSARA
4. Cetakan : I, April 2007
5. Tebal : 155 HALAMAN

Di berbagai lini kehidupan, disana terdapat berbagai rencana dan program yang mengatur kehidupan manusia untuk memperoleh tujuan yang diharapkan dengan proses yang lancar dan tanpa kendala yang berarti. Kesesuaian perencanaan dengan sebuah aplikasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan memerlukan pemberdayaan pengetahuan yang diperoleh dalam proses hidupnya.
Seperti halnya dalam pendidikan, proses pendidikan dengan suatu perencanaan yang matang akan diharapkan mendapatkan hasil yang memuaskan. Kendati demikian berbagai perencanaan pendidikan yang ada belum mendapatkan sebuah hasil yang merata dan dapat merambah di berbagai lini dalam kehidupan masyarakat belum terpenuhi secara merata dan menyeluruh. Apakah memang hanya sebuah perencanaan yang bagus tanpa kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat dan diaplikasikan dengan setting yang sedemikian rupa sehingga tak membuahkan hasil yang diharapkan.
Buku ini merupakan satu dari berbagai karya tulis dengan susunan kurikulum yang mencoba menawarkan sebuah system dengan perencanaan yang terus diperbaharui dan dengan objek-objek yang terus di perdalam dari berbagai bidang dan aspek kebutuhan peserta didik serta disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
Dalam Bab I dijelaskan tentang landasan, prinsip, komponen, dan struktur KTSP, dimana KTSP ini disusun untuk memnuhi amanat yang terkandung dalam UU RI No. 20 yang memuat Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 19 Th. 2005 tentang standar Nasional pendidikan. UU RI No. 20 Th. 2003 tentang system pendidikan nasional adalah pasal 1 ayat 19 pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); pasal 32 ayat (1), (2), (3); pasal 35 ayat (2) pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); pasal 37 ayat (1), (2), (3); pasal 38 ayat (1), (2).
KTSP merupakan penyempurnaan dari kurikulum KBK dengan system KBS (kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan) yang diimplementasikan oleh masing-masing satuan pendidikan/ sekolah guna memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi merek dimana aplikasi darinya ditandai dengan penggunaan perangkat KBK dan pengembangannya. Prinsip tersebut berpusat pada SDM, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannnya, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi dan seni, relevan, long live education, balancing antara kebutuhan nasional dan daerah. Yang beroperasi untuk meningkatkan IMTAK, potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, keberagaman potensi peserta didik daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, dll.
Dan juga dipaparkan tentang komponen-kopmonen mata pelajaran yang diajarkan disekolah sesuai dengan tujuan disusunnya KTSP serta untuk mencapai tujuan tersebut dengan struktur kurikulum yang khas dan tersusun dengan berbagai visi dan misi serta muatan KTSP tersebut.
Selanjutnya dalam BAB II dijelaskan tentang pengertaian Silabus, manfaat disusunnya silabus, apa landasan dan prinsip pengembangan silabus, kemudian bagaimana pelaksanaan dalam teori dan teknis serta alokasi waktu dalam pengembangan silabus. Disana juga dipaparkan komponen-komponen silabus yang dapat dijadikan acuan untuk dikembangkan menurut kondisi dan karakter setiap sekolah.
Kemudian pada BAB III berisi pemekaran dari kurikulum KTSP tentang pemetaan kompetensi dasar, analisis alokasi waktu, program tahunan (Prota)/ program semester (Promes) dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) setelah tersusunnya silabus guna mengarahakan pendidikan pada tujuan disusunnya kurikulum KTSP tersebut.
Dalam BAB IV dijelaskan tentang aplikasi dari kurikulum KTSP dimana tetap berpegang pada prinsip, ciri, cara pengelolaan KBM, cara menyediakan pengalaman belajar dan bagaimana memilih strategi pembelajaran.
Pada BAB terakhir (V) dijelaskan tentang apa itu penilaian kelas, apa saja ciri penilaian kelas, bagaiamana kriteria penilaian kelas, bagaimana melakukan penilaian kelas, bagaiamana bentuk dan teknik yang diterapkan dalam penilaian kelas.
Pada halaman 96 hingga halaman 153 berisi tiga lampiran. Lampiran pertama berisi contoh kurikulum yang disusun oleh SD NEGERI KERTOMULYO KENDAL, lampiran kedua dan ketiga berisi contoh pengembangan silabus. Dan dua halaman terakhir berisi profil penulis.
Pada dasarnya semua buku yang berjudul KTSP yang memaparkan suatu kurikulum baru mulai dari pengertian hingga aplikasi kurikulum itu sendiri. Seperti halnya KTSP milik Dr. E. Mulyasa. Dalam bukunya Mulyasa ini pemaparannya lebih mendetail dan lebih banyak memberikan contoh-contoh kurikulum berbasis KTSP. Maka seperti halanya buku yang lain baik berjudul sama dan stressingnya pada suatu disiplin ilmu tertentu atau pun yang memang secar teks mempunyai pembahasan yang sama dan konteksnya sama mempunyai unsur saling melengkapi dan mendukun.
Buku ini lebih bersifat aplikatif dimana unsur-unsur definitive tidak dipaparkan secara mendetail dan hanya memaparkan teori-teori yang aplikatif dan dominan yang kemudian memaparkan beberapa contoh-contoh kurikulum berbasis KTSP di beberapa daerah. Sedangkan bukunya Mulyasa sebaliknya lebih mendasarkan pada pemahaman yang mendetail terlebih dahulu dengan kurikulum KTSP kemudian menuju teori-teori aplikatif yang disusul dengan contoh-contoh kurikulum yang memang pada dasarnya, kedua buku tersebut dapat digunakan dengan saling melengkapi dan mendukung, sehingga seorang pendidik mempunyai bebarapa acuan yang dapat dijadikan sumber untuk menyusun kurikulum tersebut.
Maka buku ini sangat cocok untuk kalangan aktifis-aktifis pendidikan yang telah berkecimpung di dunia pendidikan atau calon-calon pendidik masa depan yang akan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengentaskan kemiskinan dengan pemberantasan buta aksara melalui pendidikan.

Biografi singkat penulis
Masnur Muslich adalah seorang dosen tetap di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang semenjak tahun 1980. Beliau dilahirkan di Mojokerto 22 Februari 1956, selain mengajar beliau juga melakuakan penelitian tentang morfologi bahasa Tetun di Jawa Timur, dan juga seorang tokoh yang ikut serta mengentaskan masyarakat dari kebutaan aksara. Beliau telah menulis buku sebanyak 72 jilid mulai dari tingkat SD hingga tingkat SLTA. Disela-sela kesibukannya menjadi Dosen dan penulis, beliau juga menjadi narasumber pada berbagai seminar dan/penataran dalam rangka sosialisasi KTSP dan sertifikasi guru. Dan prestasi yang paling menggemberikan adalah beliau diangkat oleh DEPDIKNAS sebagai asesor bagi peserta sertifikasi guru dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Proposal Skripsi S.M.N Al-Attas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membentuk manusia menjadi masyarakat modern. Hal ini didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditaklukan oleh kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berproses pada rasionalitas. Jagad raya beserta isinya yang oleh doktrin-doktrin agama memiliki keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta, kini hanya dianggap sebagai benda otonom yang tak ada keterkaitan dengan Sang Maha Pencipta.

Dunia materi dan non-materi difahami secara terpisah, sehingga dengan demikian masyarakat modern merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi memerlukan intervensi Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia ini. Karena dengan kedigdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi segala hal dapat dilakukan dengan mudah tanpa bantuan dari Tuhan. Dengan demikian manusia modern semakin yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai orbit dunia dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mengumandangkan nilai-nilai rasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (Budaya primitif).[1]

Memang diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi kelangsungan kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan krisis global yang sangat serius. Kalau krisis ini didaftar secara detail, maka akan ditemukan daftar krisis yang amat panjang. Misalnya krisis lingkungan mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Disamping itu, yang tak kalah serius adalah terjadinya dekadensi moral di berbagai belahan dunia benar-benar telah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Kejujuran, keadilan, kebenaran, tolong-menolong dan kasih sayang sudah tereliminasi oleh tindak penipuan, penyelewengan, penindasan dan saling merugikan.[2] Terjadinya krisis yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat menurut Gregory Bateson tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat.[3]

Akibat epitemologi Barat yang mengistimewakan peranan manusia dalam memecahkan ‘segala sesuatu’, dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimplikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Di kalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan epistemologi Islam. Mereka sedang mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut yang diformulasikan berdasarkan Alquran dan Assunnah sebagai wahyu Tuhan. Jadi, gagasan epistemologi Islam merupakan respons kreatif terhadap tantangan-tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat epistemologi Barat.[4]

Sejalan dengan itu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan kekeliruan epistemologi Barat, karena Barat telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologis ‘ilmiah’. Bukan hanya itu, Barat juga telah menjadikan skeptisisme ke tingkat tinggi sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Tambahnya lagi, ilmu Barat tidak dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional.

Bertolak dari krisis yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan Barat di atas, sebagian kalangan intelektual Muslim merasa kuatir apabila ilmu pengetahuan Barat tersebut diterapkan di dunia Muslim apa adanya (taken for granted). Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya krisis di dunia Muslim, maka ilmu pengetahuan kontemporer sebelum diterapkan harus diislamkan terlebih dahulu.

Islamisasi ilmu merupakan usaha mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistik, sekularistik, evolusioneristik, dan karena pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam.[5]

Perlunya menampilkan pemikiran teologis yang berlandaskan Alquran adalah untuk menghilangkan kesan yang selama ini muncul bahwa pendidikan Islam itu adalah tidak lebih dari pendidikan Barat yang ‘terislamkan.’ Paradigma filosofis yang digunakan tidak sepenuhnya berlandaskan paradigma Qur’ani, tetapi menjiplak paradigma Barat yang memang mendominasi pemikiran Islam.

Akibatnya, seperti yang disinyalir oleh Abdul Munir Mulkhan, dunia pemikiran Islam, termasuk pendidikan Islam, masih dihinggapi semacam ‘kekeliruan semantik’ atau bahkan ‘kepalsuan semantik’. Diterimanya prinsip dikotomi adalah diantara indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam. Dikotomi ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan Islam dengan segala variasi dan implikasinya dalam membentuk wawasan intelektual dan keagamaan umat dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaannya.[6]

Untuk keluar dari situasi itu, maka rekonseptualisasi pendidikan Islam yang lebih bermakna sungguh sangat diperlukan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menawarkan sebuah problem solving dengan mengedepankan konsep tauhid yang menjadi oase dalam gersangnya pendidikan Islam dewasa ini. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka sangat menarik untuk mendalami jalan pikiran al-Attas ini, melalui pemahaman ajaran-ajarannya tentang pedagogik Islam.

Syed Muhamamd Naquib al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi yang pernah membaca karya-karyanya yang telah diindonesiakan, seperti Islam dan sekularisme, terbitan Pustaka Bandung, yang sangat populer pada tahun 80-an, Islam dan Filsafat Sains terbitan Mizan, atau Konsep Pendidikan Islam, pasti mengenalnnya. Namun, sisi penting sosok al-Attas sebagai pemikir Muslim terkemuka dan pembaharu pemikiran Islam tidak dapat ditangkap hanya dari karya-karya yang telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaharu di Dunia Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Faruqi[7] dan disalahfahami atau dipolitisasi banyak orang. Gagasannya bukan tanpa konsep, melainkan justru merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian dikumpulkan dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysich of Islam. Bahkan, yang lebih menarik lagi, karena kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya diimplementasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional.[8] Inilah substansi dari skripsi yang penulis tuangkan ini, yakni mengungkap pemikiran-pemikiran cemerlang al-Attas tentang pendidikan Islam dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

Selain pemikiran al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan, skripsi ini juga akan membahas kerangka berpikir al-Attas tentang pedagogik yang lain misalnya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, dan Ide dan Realitas Universalitas Islam.

Studi ini berangkat dari konsep utama ‘pedagogik”. Pedagogic secara lughawi berarti ilmu yan berusaha menyelidiki tentang perbuatan mendidik.[9] Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada zaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah.[10]

Meskipun istilah paedogogos (sekarang pedagogic) pada mulanya digunakan untuk konotasi rendah (pelayan, bujang) pada akhirnya dipakai untuk pekerjaan mulia dan terhormat. Paedagoog (sekarang pedagog) ialah seorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan ke arah yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa Arab disebut Mu’allim, Mudarris atau Murabbi.

Menurut al-Khukli, kata pedagogic (Inggris) diberi padanannya dalam bahasa Arab dengan kata tarbawy atau ta’limi. Al-Khukli mengartikan pedagogic sebagai “ilmu usul al-Tadris, Fannu al-Tadris.” Artinya ilmu tentang dasar-dasar mendidik atau ilmu tentang kiat mendidik.[11]

Secara lughawi memang tidak dibedakan antara pedagogy dan pedagogic, akan tetapi dalam konteks kependidikan, kedua istilah itu dibedakan. Pedagogy mempunyai kecendrungan makna praktek dan cara mengajar (applied); sedangkan pedagogic bermakna teori atau ilmu mendidik. Soerganda Poerbakawatja menulis: pedagogy mempunyai dua arti:

1. Praktek, cara mengajar
2. Ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar; prinsip-prinsip, metode-metode membimbing dan mengawasi pelajaran; dengan satu perkataan disebut pendidikan.[12]

Di negeri Belanda orang membuat perbedaan. Ilmu pengetahuan mengenai pendidikan seperti yag dimaksud dalam poin b adalah pedagogic. Sedangkan pelaksanaan pendidikan tersebut disebut pedagogi.[13] Dalam studi ini, kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Pedagogic digunakan dalam konteks teoritik. Sedangkan pedagogi digunakan dalam konteks aplikatif. Menurut H.M Said di negeri Belanda tidak dikenal istilah filsafat pendidikan. Yang ada ialah ‘pedagogik seek’ dan ’opvoedkunde’, juga di Jerman tidak di kenal istilah filsafat pendidikan yang ada hanya istilah ‘pedagogik’ dan ’erzie lungswisenchaft’. Judul-judul pendidikan Jerman juga menggunakan istilah ‘pedagogiek’ dan ‘erzie lungswissenchaft.’[14]

Pedagogi dalam literatur Islam ekwifalen dengan al-Tarbiyah atau al-Ta’lim. Ibnu Khaldun– sebagaimana kebanyakan para ahli sebelum dan semasa dengannya- menggunakan istilah al-Ta’lim yang diterjemahkan oleh Frans Rosenthal ke dalam bahasa Inggris instruction.[15] Syed Muhammad Naquib Al-Attas –dengan mengemukakan alasan-asalan leksikal- menggunakan istilah al-Ta’dib. Al-Attas mengatakan, mereka yang menggunakan istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah besar, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Padahal pendidikan menurut Islam ialah sesuatu yang khsusus hanya untuk manusia. Tarbiyah mencakup juga untuk binatang. Lagi pula tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada pemilikan, seperti pemilikan orang tuanya, dan biasanya para orang tua pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah.[16]

Dalam bahasa Inggris istilah education diartikan dengan pedagogi. Dalam bahasa Indonesia, padanan yang tepat adalah pendidikan. Abd. Al-Qadir mendefinisikan pedagogi dalam arti umum ialah, ’semua aktivitas yang berasal dari manusia dengan tujuan mengembangkan kapasitas dan abilitas yang berkenaan dengan fisik, akal budi dan rasa’.[17] Noeng Muhadjir merumuskan sebagai upaya terprogram dari pendidik-pendidik pribadi membantu subyek didik berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara/jalan yang normatif pula.[18] Demikian pula yang penulis maksudkan dalam skripsi ini, yakni semua usaha yang dilakukan dalam proses pendidikan, mencakup prinsip dan metode mengajar, metode membimbing dan seluk-beluk pengajaran Islam.

Di dalam perkembangan pedagogik yang pesat menuju sebuah ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Dr. H. Muh. Said mengutip pernyataan Herman Rohrs dalam algemeine Erziehungswissenschsftlicen Aufgaben Und Methoden, bahwa yang mula-mula sekali memakai istilah ilmu pendidikan ialah J.C. Greling yang menulis dalam bukunya, ”tentang tujuan akhir dari pendidikan dan tentang dalil dasar pertama dari ilmu pengetahunnya”. Bahwa; ”ilmu pendidikan berbeda dari seni mendidik sebagai umumnya teori dan praktek.”[19]

Untuk melihat apakah kontribusi pemikiran pedagogik Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat dipandang sebagai teori yang acceptable dan applicable dalam pedagogi Islami dan kontemporer, maka dalam mengulasnya digunakan pendekatan filosofik, yaitu suatu sudut tinjau –sesuai dengan objek formalnya- yang menempatkan objek secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka metode yang ditempuh dalam hal ini, adalah deskriptif, komparatif dan analisis-sintesis. Dari uraian ini kemudian penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul, “KONSTELASI PEMIKIRAN PEDAGOGIK SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MODERN.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian singkat di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

1. Siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
2. Konstelasi pemikiran pedagogik apa saja yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas? Dan apa sajakah yang dilakukan Al-Attas untuk merealisasikan ide-ide pedagogiknya?
3. Adakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi Al-Attas dalam mewujudkan ide-ide pedagogiknya dan cara mengatasinya?
4. Bagaimana pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan yang diusung Al-Attas dalam rangka mengatasi dualisme ilmu dewasa ini yang melanda negeri-negeri Muslim dan Barat?
5. Secara umum, bagaimana pengaruh dan relevansi pemikiran pedagogik Al-Attas terhadap pendidikan Islam modern?

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diteliti lebih terarah dan tidak keluar dari jalur pembahasan, karena sepengetahuan penulis, pemikiran-pemikiran Al-Attas itu cukup beragam terutama dalam bidang tasawuf, hal itu bisa dilihat dari banyak karya-karyanya diantaranya The Mysticism of Hamzah Fansuri, Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Aceh, dan A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry. Selain itu, beliau juga terkenal ahli dalam bidang teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Oleh karena itu, penulis memberi batasan masalahnya sebagai berikut:

1. Mengenal sosok Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.
2. Menguraikan pemikiran pedagogik Al-Attas diantaranya Konsep Pendidikan Islam, Kurikulum dan Metode Pendidikan, Makna dan Tujuan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui, Ide dan Realitas Universalitas Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahaun.
3. Menelaah epistemologi pemikiran pedagogik Al-Attas dan relevansinya dengan pendidikan Islam modern.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan utama yang tersimpul dalam rumusan masalah. Lebih rinci tujuan itu dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui siapa sesungguhnya Syed Muhammad Naquib al-Attas.
2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pemikiran pedagogik apa saja yang diwacanakan al-Attas dan relevansinya untuk pendidikan Islam modern.
3. Membangun kembali jembatan yang telah hancur dalam tradisi intelektual –dengan merujuk kepada mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya untuk mengantisipasi timbulnya kesimpangsiuran— dan dengan demikian, bisa mengangkat kembali pemikiran konseptual yang autentik dan jelas dalam berbagai persoalan penting umat Islam, seperti masalah pendidikan Islam.
4. Sebagai wacana untuk membawa pemikiran al-Attas ke permukaan, khususnya islamisasi ilmu pengetahuan, dan mengeliminasi sikap dualistik yang keliru dan destruktif, yang sekarang sedang tren di kalangan politikus, birokrat, teknokrat, bahkan akademisi dan mahasiswa Muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini setidaknya adalah:

1. Memberikan gambaran yang lebih utuh dan imbang tentang kontroversi pendapat sarjana kontemporer mengenai tesis-tesis Al-Attas.
2. Melalui gambaran yang utuh dan imbang itu, maka dengan aman kita dapat mengatakan bahwa Al-Attas telah menghadirkan sebuah paradigma dalam kajian ilmu dan pendidikan yang layak untuk diterapkan kaum Muslim di dunia.

E. Metodologi Penelitian

Sebagai kajian literatur, metode yang dipakai dalam penelitian ini lebih bersifat eklektis, berbaur antara kualitatif dengan analisa isi. Metode semacam ini diajukan dengan pertimbangan bahwa kajian pendidikan Islam, apalagi yang sedikit banyaknya bermuatan pemikiran filosois, tidak hanya ditembus dengan satu metode saja. Bila satu metode saja, sudah pasti akan memiskinkan bobot analisisnya. Sejarah dan pemikiran manusia begitu kompleks, berdimensi banyak. Setiap dimensi punya daya tarik tersendiri, jika orang pandai melihatnya melalui kacamata yang serius dan kritis.

Begitu juga dalam penelitian skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat kontemporer dengan sudut pandang filsafat pendidikan. Data yang dipakai bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pemikiran Al-Attas dan pendidikan. Rujukan utama (primer) adalah karya-karya yang ditulis Al-Attas. Sementara rujukan sekunder adalah karya-karya intelektual mengenai pemikiran Al-Attas. Untuk karya-karya lain yang terkait dijadikan sebagai data pendukung.

Adapun metode yang digunakan adalah metode Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Disamping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990). Metode ini dipakai untuk mengevaluasi secara kritis pemikiran Al-Attas; kekuatan dan kelemahan.

Data-data yang telah terkumpul, kemudian penulis ramu untuk memberikan hasil yang seobjektif mungkin dan mencoba memberikan sesuai dengan tendensi teks. Selanjutnya menuangkannya baik dalam bentuk kutipan murni atau langsung maupun dalam bentuk kalimat yang penulis bahasakan sendiri, tanpa mengurangi esensi dari pendapat-pendapat atau teks yang dikutip.

1. F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I : Merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi masalah dan perumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman serta karya-karyanya.

Bab III : Konstelasi pemikiran pedagogik Al-Attas yang terdiri dari konsep pendidikan Islam, kurikulum dan metode pendidikan, makna dan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengetahui, ide dan realitas universalitas Islam dan islamisasi ilmu pengetahuan. Serta telaah kritis epistemologi pemikiran Al-Attas perspektif pendidikan Islam modern.

Bab V : Penutup. Merupakan akhir dari penyusunan skripsi ini yang memuat kesimpulan dan saran.
[1] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet ke-1 h 98

[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet ke-1 h 95

[3] Ziaudin Sardar, Masa Depan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Salman, 1987), Cet ke-1 h 88

[4] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, Epitemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h 103

[5] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Misi Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jurnal Studi-studi Islam, Dzulhijjah Awwal 1412/Juli-Oktober 1991, h 96

[6] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1993), Cet ke-1, h 2

[7] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada 1986. Sebagai seorang ilmuan, ia banyak sekali melahirkan karya ilmiah yang bermutu. Ia menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisannya, pemikiran al-Faruqi mampu tersebar ke negara-negara Islam di seluruh dunia. Diantara buku-bukunya yang penting adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of Religious of the World, Trialogue of Abrahamic Faith, The Cultural atlas of Islam, Islamization For Thought And Life, dan Islam And Culture. Harun Nasution (ed.), Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Jembatan, 1992), h. 242-243

[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), h 15

[9] Dapat dibedakan antara pedagogic. Pedagogic cenderung bersifat keilmuan teoritik aktifitas mendidik, sedangkan pedagogi berarti aktifitas mendidik itu sendiri.

[10] www.rezaervani.com – http://groups.yahoo.com/group/rezaervani, ditulis oleh Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd dan diakses pada 11 November 2009.

[11] Muhammad Ali al-Khukli, Qamus al-Tarbiyah, (Libanon: Dar al’Ilm li al Malayin, 1981), h 345

[12] Soegarda Peorbakawadja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h 212

[13] ibid

[14] H.M Said dalam IAIN Jakarta, Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Lembaga Penerbitan IAIN, 1983) h. 82

[15] Penerjemahan al-Ta’lim dengan instruction, bukan hanya melemahkan ruh pendidikan yang berwawasan Islam, tetapi juga menafikan sifat normatif dari pendidikan itu sendiri. Instruction cenderung mempunyai makna pengisian otak atau intelek dan performance dan objektif di samping penempatan intelek dan skill.

[16] Disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (alih bahasa Haidar Baqir), (Bandung: Mizan, 1987), h 65-67

[17] Hamid Abd. Al-Qadir, Manhaj al-Hadits fi Usul al-Tarbiyah wa Turuk al-Tadris, (Mesir: Matba’ah al-Nahdah, 1957)

[18] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin Press, 1987), Edisi IV, Cet 1, h 10

[19] Prof. Dr. H. Muh. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h. 6